Pemerintah berencana akan menerapkan kebijakan pembatasan BBM subsisi yang dimulai pada 1 April 2012 mendatang. Kebijakan tersebut dilakukan agar anggaran subsidi (BBM) tidak terus membengkak seperti tahun-tahun sebelumnya. Menurut pemerintah, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, merupakan amanah UU APBN 2012 yang wajib dijalankan. Pembatasan BBM bersubsidi tersebut harus dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini akan membutuhkan energi yang besar.
Menurut pemerintah, pembatasan BBM bersubsisi tersebut akan berfokus pada dua hal, yakni pembatasan penggunaan Premium untuk kendaraan pribadi dan konversi bahan bakar minyak ke gas.
Khusus untuk konversi, pemerintah akan membagikan alat konversi secara gratis kepada angkutan umum. Sedangkan untuk kendaraan pribadi, pemerintah menyiapkan insentif untuk pembelian alat konversi. misalnya berupa bunga rendah. Pembatasan penggunaan Premium akan diberlakukan secara bertahap. Yakni Pada 1 April dan kemungkinan akan dilakukan untuk Jabodetabek terlebih dahulu.
Terkait dengan kebijakan tersebut, pemerintah akan melarang pengguna mobil pribadi di Jawa dan Bali menggunakan premium. Sebagai gantinya, pengguna premium harus membeli Pertamax. Alternatif lain adalah menggunakan bahan bakar gas dengan terlebih dulu memasangi mobil dengan converter kit yang harga per unitnya di atas Rp 10 juta.
Larangan penggunaan premium untuk kendaraan roda empat berpelat hitam juga diberlakukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan mulai 2013. Sementara pelaksanaan di Pulau Sulawesi dan wilayah Papua masing-masing akan dilakukan pada Januari dan Juli 2014. Larangan penggunaan solar bagi mobil pribadi di Jawa dan Bali, baru akan dimulai pertengahan 2013.
Respons Publik terkait Kebijakan Pembatasan Subsidi BBM
Menurut berbagai pandangan masyarakat di media massa, kebijakan pemerintah untuk membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi dianggap sebagai kebijakan yang sarat kepentingan politik. Yakni merupakan salah satu cara menjaga stabilitas politik dengan cara mengorbankan kesejahteraan rakyat karena secara substantif pemerintah hanya berpedoman pada amanah UU yang mengharuskan terjadinya penyesuaian APBN ditahun 2012 ketika setiap kali terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia – seperti halnya saat ini ketika APBN kembali tertekan oleh penambahan defisit karena membengkaknya subsidi BBM dan subsidi energi lainnya (LPG dan listrik).
Kebijakan subsidi BBM pada dasarnya adalah masalah klasik yang memang dilematis bagi pemerintah. Pertimbangan pemerintah melakukan pembatasan BBM subsidi memang diduga hanya mengedepankan kepentingan aspek stabilitas politik, ketimbang mengukur dampaknya bagi masyarakat dalam jangka panjang.
Oleh karenanya kebijakan pembatasan BBM subsidi yang akan dilakukan pemerintah pada April 2012 mendatang, bukan saja memerlukan langkah terobosan yang rasional, namun juga secara layak harus implementatif dan efektif menyelesaikan kondisi saat ini maupun dimasa yang akan datang. Persoalannya adalah kebijakan pembatasan subsidi BBM tersebut, ternyata tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan kebijakan turunannya. Beberapa menteri terkait dengan kebijakan ini tidak mengerti dan tidak memiliki kejelasan yang memadai mengenai implementasi kebijakan turunan terkait kebijakan pembatasan subsidi BBM tersebut.
Sehingga bisa ditebak bahwa kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah akan diresistensi oleh masyarakat karena secara faktual kondisi riel di lapangan, akan berimplikasi secara kompleks dan berdampak pada terjadinya distablitas ekonomi, baik secara makro maupun mikro serta kebijakan tersebut mendorong terjadinya konflik politik kepentingan terkait quo vadis kebijakan pemerintah mengenai kebijakan politik energi yang selama ini memang tidak pernah efektif memberikan dampak positif bagi rakyat.
Secara simplistis, resistensi publik terhadap kebijakan pemerintah mengenai pembatasan subsidi BBM lebih disebabkan karena secara substantif kebijakan tersebut akan menimbulkan distorsi sosial yang lebih besar karena harga BBM subsidi jauh lebih murah daripada harga keekonomiannya.
Dengan disparitas harga seperti itu, BBM subisidi akan banyak dimanfaatkan dan disalahgunakan. Karena kebijakan pembatasan subsidi BBM tersebut, diprediksi akan memunculkan problem baru dan berpotensi menimbulkan pasar gelap (black market) sehingga menimbulkan keresahan sosial yang jauh lebih eskalatif dampaknya bagi masyarakat.
Ditambah pula resistensi terjadi karena secara konstitusional pemenuhan energi merupakan hak masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan energi yang tersedia di negeri ini. Jadi amat tidak rasional apabila pemerintah melakukan kebijakan diskriminasi harga atas dasar kesalahan kebijakan politik energi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini.
Infrastruktur untuk menjalankan kebijakan ternyata belum siap.
Seperti diketahui bahwa konsekuensi dari penghapusan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi adalah pengusaha SPBU harus membangun tangki dan fasilitas khusus BBM nonsubsidi yang membutuhkan kurang lebih Rp 600 juta untuk membangun tangki khusus ini. Jika kebijakan tersebut diberlakukan, maka justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Selain harga BBM nonsubsidi yang mahal dan stok yang tidak tersedia di semua SPBU, BBM bersubsidi masih tetap beredar di masyarakat. BBM bersubsidi yang khusus diperuntukkan bagi angkutan dan jasa, sangat mungkin diselewengkan oknum tertentu dan dijual ke pemilik mobil pribadi dengan harga yang sedikit lebih mahal.
Masalah lainnya adalah karena jumlah SPBG dan peralatan pendukungnya belum memadai. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), melansir bahwa jumlah SPBG di wilayah Jabodetabek saja baru berjumlah sekitar 20 buah, dan hanya 50% saja yang masih beroperasi. Sementara para pengusaha SPBU enggan untuk menjual BBG, karena nilai investasinya sangat mahal yaitu berkisar Rp 1,5 miliar – Rp 2 miliar.
Pemerintah juga dihadapkan pada persoalan pasokan dan ketersediaan gas yang sangat rendah. Data dari BPS menyebutkan bahwa rata-rata produksi gas setiap tahun mencapai 2.426,12 miliar kaki kubik, dengan konsumsi gas rata-rata sebesar 1.281,93 miliar kaki kubik. Dengan fakta ini seharusnya negara tidak perlu mengalami defisit gas. Namun realitanya, lebih dari 70% produksi gas nasional, dijual ke luar negeri karena dianggap lebih profitable. Hal inilah yang membuat nilai jual gas di dalam negeri menjadi cukup tinggi, karena harus mengimpor dari negara lain, meskipun masih lebih murah dibandingkan dengan harga premium.
Dampak ketidaksiapan insfrastuktur tersebut juga akan berpotensi memunculkan gejolak sosial terutama di daerah. Yakni menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena Infrastruktur gas tidak tersedia, maka Social impact akan jauh lebih besar ketimbang apabila pemerintah menaikkan harga. Dengan kata lain, social impact yang besar itu akan berdampak meningkatkan laju inflasi yang jauh lebih tinggi ketimbang pemerintah menaikan harga. Sebab kebijakan itu nanti akan ”memaksa” pemilik mobil pribadi beralih menggunakan Pertamax, yang harga jualnya dua kali dari Premium.
Ancaman Inflasi dan implikasinya terhadap ancaman terbesar konflik sosial dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dari sisi dampak inflasi, pembatasan BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah menurut Anggito Abimanyu bisa menimbulkan inflasi antara 5%-7,5%. Tingginya laju inflasi ini akan berdampak kepada naiknya harga berbagai komoditas yang menggunakan instrumen bahan bakar minyak sabagai salah satu faktor biaya produksinya. Sebab peralihan konsumsi BBM dari premium dan pertamax akan mengakibatkan naiknya biaya produksi yang berujung pada kenaikan harga barang. Kenaikan harga barang akan segera menurunkan konsumsi masyarakat pada sektor-sektor ekonomi tertentu. Karena otomatis masyarakat akan menggunakan pendapatannya untuk menutupi kebutuhan konsumsi primer yang harganya semakin tinggi. Jika dampak kenaikan harga ini tidak terkelola dengan baik, maka kebijakan pembatasan BBM jelas akan menurunkan daya beli masyarakat yang berakibat pada penurunan konsumsi masyarakat. Menurunnya konsumsi ini akan menyebabkan berbagai kegagalan produktivitas ekonomi masyarakat, terutama bagi pelaku ekonomi baik manufaktur maupun sektor riel yang pada akhirnya berdampak serius bagi stabilisasi ekonomi makro.
Bagi pemerintah, sebenarnya pilihan untuk menentukan kebijakan pembatasan subsidi BBM adalah pilihan dilematis. Pembatasan subsidi BBM juga tidak menjamin terjadinya kenaikan harga. Sementara menaikkan harga BBM juga akan menimbulkan gejolak luar biasa dimasyarakat. Perspektif pemerintah saat ini, apabila kebijakan menaikkan harga BBM menjadi pilihan, maka politik pencitraan pemerintah SBY akan tergerus. Sensitifitas karakteristik pemimpin inilah yang sejatinya dihindari oleh para stakeholders pengambil kebijakan mengenai masalah energi. Secara implisit, pertamina sebagai operator dan BP migas sebagai regulator yang selama ini menjalankan politik energi pemerintah tidak cukup mampu mengambil pilihan tegas terhadap persoalan BBM di tanah air.
Padahal berbagai kalangan baik praktisi, pengamat hingga anggota DPR beramai-ramai telah memberikan kontribusi dan analisisnya agar pemerintah lebih tepat menaikkan harga BBM secara fluktuatif ketimbang membatasi BBM bersubsidi yang diteruskan dengan menyusun kebijakan mengenai penggunaan kendaraan bermotor, penyediaan infrastruktur termasuk mengadakan converter kit dan pemberian insentif kepada para pengusaha SPBU dan seterusnya itu. Yang dari kesemuanya itu, tidak juga bisa memberikan jaminan bahwa harga BBM tidak akan naik.
Kebijakan Pembatasan Subsidi BBM dan Peluang terjadinya tarik menarik dan pemanfaatan untuk Kepentingan politik Parpol.
Terkait kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah saat ini, ternyata pemerintah cenderung lebih berpedoman pada analisis perspektif politik energi dalam jangka pendek. Dan yang lebih parahnya, pemerintah lebih mengedepankan politik pencitraan semata. Pemerintah khawatir, saran dan analisis berbagai pihak, terlebih-lebih saran dan masukan tersebut diberikan oleh pihak-pihak yang selama ini dianggap sebagai lawan politik pemerintah, adalah pihak yang ambigu. Disatu sisi, mendorong kenaikan harga BBM, namun ketika harga BBM dinaikkan sesuai dengan saran dan masukan mereka dilaksanakan, maka mereka akan bertubi-tubi mengeroyok pemerintah SBY saat ini yang dianggap tidak memliki sense of crisis terhadap penderitaan rakyat.
Oleh karenanya pemerintah lebih baik mengambil pilihan diksi ”pembatasan”, walaupun sejatinya istilah pembatasan merupakan inheren dari kebijakan pengelolaan migas dan BBM yang secara bertahap akan dihapus subsidinya.
Namun demikian, apapun yang akan dilakukan oleh pemerintah terkait kebijakan politik energi-nya, Isu pembatasan subsidi BBM akan dijadikan pintu masuk untuk mendorong isu klasik tentang kelemahan kebijakan Yudhoyono. Yakni kebijakan yang dianggap oleh lawan politik Yudhoyono sebagai bagian dari konsep liberalisasi energi mulai dari hulu (eksplorasi & eksploitasi migas) hingga hilir (distribusi dan perdagangan migas).
Kebijakan pembatasan subsidi BBM juga dijadikan isu oleh kelompok penentang Yudhoyono, bahwa pemerintah sejatinya lebih berpihak kepada dominasi modal asing di sektor hilir/ perdagangan BBM. Sebab kebijakan pembatasan subsidi BBM tersebut berdampak menguntungkan SPBU milik Shell, Chevron, Exxon, Total, BP, Petronas.
Mereka (baik kelompok pressure group maupun kelompok yang berasal dari kepentingan politik praktis) akan membangun opini publik bahwa kebijakan menaikkan harga energi merupakan bagian dari komitmen Yudhoyono terhadap kelompok kapitalis internasional. Dalam hal ini Amerika Serikat (AS), IMF dan World Bank. Salah satu rekomendasi pertemuan G-20 Korea November 2010 lalu (pertemuan negara dengan 85 % PDB global) adalah mendorong anggota G-20 untuk mencabut subsidi BBM sebagai bagian dari strategi mengatasi climate change dengan mengurangi penggunaan energi. Sikap penurut Yudhoyono dimotivasi oleh harapan memperoleh bantuan utang dari negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk mengisi kantong APBN. Sementara APBN sendiri semakin tidak efisien karena tergerus oleh korupsi yang dilakukan jajaran pemerintahan Yudhoyono.
Kebijakan membatasi subsidi BBM akan diopinikan oleh mereka sebagai sebuah strategi memposisikan APBN tetap bergantung kepada subsidi negara pengutang. Indikasi tersebut dapat dilihat dari jumlah kewajiban membayar utang pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah dalam APBN mencapai Rp 97 trilun (2010), bunga hutang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 77,43 trilun (juga mayoritas diterima asing). Jumlah pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang DN dan LN pemerintah mencapai Rp 174,43 triliun. Nilai tersebut melebihi seluruh penerimaan sumber daya alam hasil tambang, migas dan ekploitasi SDA lainnya yang hanya sebesar Rp 111,45 triliun (data pokok APBN 2010). Fakta tersebut berarti asing mendapatkan semua manfaat dari ekploitasi kekayaan alam negeri ini.
Isu lain yang akan di dorong oleh kelompok anti pemerintah adalah bahwa kebijakan mengalihkan premium ke pertamax merupakan bagian dari upaya pemerintah menghancurkan usaha-usaha yang dikerjakan oleh rakyat dan menggantikannnya dengan usaha-usaha pihak asing sampai ke tingkat perdagangan eceran.
Secara umum isu masalah kebijakan pembatasan subsidi BBM yang diangkat oleh kelompok anti pemerintah menegaskan bahwa Kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa pemerintahan Yudhoyono adalah bagian dari kepentingan asing dan harus mundur atas pelanggaran terhadap pancasila dan UUD 1945.
Epilog : Isu kebijakan Pembatasan BBM subsidi dan Agenda politik jelang 2014
Pemanfaatan Isu kebijakan pembatasan subsidi BBM diprediksi akan dilakukan oleh Partai politik untuk menarik simpati rakyat jelang 2014. Upaya tersebut dilakukan dalam bentuk propaganda opini publik melalui media massa dan berbagai kesempatan di forum-forum diskusi untuk mengkritisi kebijakan. Tujuannya agar kebijakan yang diambil oleh pemerintah Yudhoyono menimbulkan distabilitas politik dan ekonomi nasional secara masif.
Diprediksi pola ini akan digunakan sebagai agenda isu untuk mendestrukturisasi kebijakan pemerintah sekaligus mengangkat peluang bagi partai politik untuk menampilkan eksistensinya dimata publik secara positif. Dengan kata lain politik pencitraan akan dimainkan oleh partai politik dengan melakukan upaya penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.
Disamping itu, Isu kebijakan pembatasan BBM bersubsidi menjadi salah satu pola untuk menciptakan konflik masa terhadap pemerintah yang jauh lebih eskalatif untuk tujuan menggagalkan kebijakan.
Pola ini dilakukan oleh lawan politik pemerintah dan parpol politik yang akan memainkan “panggung BBM” untuk menjadikan isu pembatasan BBM merupakan momentum untuk mempolitisasi radikalisasi gerakan massa untuk tujuan mengeskalasi konflik dan menaikkan resistensi terhadap pemerintah SBY.
Dengan demikian diprediksi, berbagai kelompok penekan dan anti pemerintah, akan melakukan brainstroming melalui opini di media massa secara rasional dan menyentuh dampak langsung kepentingan rakyat. Misalnya melalui opini bahwa rakyat akan dapat terkena dua kali ‘pukulan’ kenaikan harga jika opsi pembatasan diterapkan. Pukulan pertama adalah kenaikan harga BBM hingga 76% lebih akibat harus beralih dari bensin premium subsidi ke pertamax. Pukulan kedua adalah kenaikan harga BBM (kedua) yang bisa terjadi manakala APBN tak sanggup lagi menahan gempuran tingginya harga minyak.