Penegakan Hukum Kejahatan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Label: , , , ,

Selama hampir empat tahun terakhir ini Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004). UU ini melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga. Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Domestic violence atau KDRT [Kekerasan Dalam Rumah Tangga] juga dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1994, bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim yang mengarah pada sistimatika kekuasaan dan kontrol, dimana penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi. Disebutkan pula bahwa seorang perempuan dalam situasi mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, dapat saja disiksa oleh suaminya, mantan suami, pacarnya, mantan pacarnya, pasangan hidupnya, mantan pasangan atau seseorang dengan siapa dia mempunyai seorang anak. Dan perlu diketahui bahwa tidak semua bentuk-bentuk kekerasan dalam relasi hubungan intim berlangsung antara seorang penyiksa laki-laki terhadap seorang perempuan (korban), penyiksaan terjadi pula diantara pasangan homoseksual (lesbian dan gay), meskipun mayoritas kasus domestic violence dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan[1] (PBB, 1993) membagi ruang lingkup terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan atas 3 lingkup, yaitu di keluarga atau domestic, di masyarakat atau public domain serta dilakukan oleh negara atau state. Pembagian ruang lingkup ini yang kemudian menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi dan ter-'lindungi' dari intervensi luar untuk membantu korban dari berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang terakhir ini dikenal dengan sebutan domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga.

Tercatat sejumlah negara telah lebih dahulu memberlakukan Undang-Undang mengenai domestic violence ini diantaranya Malaysia memberlakukan Akta Keganasan Rumah Tangga (1994), Selandia Baru, Australia, Jepang, Karibia, Meksiko dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Di Malaysia, tindak penderaan [penganiayaan] fisik terhadap perempuan cukup tinggi jumlahnya, penderaan tersebut dilakukan oleh suami atau teman lelaki korban. Di tahun 1989 diperkirakan sebanyak 1.800.000 (36%) perempuan Malaysia yang berumur diatas 15 tahun telah pengalami pemukulan secara fisik oleh suami atau teman lelakinya.[2]

Bagaimana tindak KDRT ini di Indonesia? Sejauhmana penegakan hukum terhadap UU Penghapusan KDRT diterapkan di negara kita? Tulisan berikut ini akan membahas topik tersebut diatas.


Fakta KDRT di Indonesia
Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT.  Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak 22,512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus)[3]. Lembaga-lembaga tersebut termasuk RPK [Ruang Pelayanan Khusus] atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian, Pusat Krisis Terpadu & Pusat Pelayanan Terpadu [PKT & PPT] di Rumah Sakit atau Layanan Kesehatan, Women’s Crisis Centre (WCC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyediakan layanan pendampingan bagi Korban serta Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

Data tahun 2007 Mitra Perempuan WCC mencatat 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersbut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang diampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Diagram-diagram berikut adalah Statistik kasus yang didampingi oleh Mitra Perempuan WCC (2004-2006).
Dampak tindak perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap kesehatan perempuan yang mengalami kekerasan sangat memprihatinkan karena berdampak pada kesehatan perempuan secara menyeluruh, karena kekerasan seksual selalu disertai dengan kekerasan fisik dan psikis.

Salah satu dampak yang menimbulkan masalah serius adalah dampak secara khusus pada kesehatan reproduksi perempuan, di samping gangguan atau kesakitan fisik, gangguan kesehatan mental bahkan potensial terjadi kematian atau korban bunuh diri. Gangguan kesehatan reproduksi yang dialami perempuan yang mengalami perkosaan diantaranya Infeksi Saluran Reproduksi, Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk infeksi HIV dan AIDS, kehamilan yang tidak dikehendaki, abortus spontan, pemaksaan abortus, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kecacatan pada bayi dan kerusakan organ genital atau reproduksi.

Memaksakan dilanjukannya kehamilan yang tidak diinginkan oleh Korban Perkosaan akan meningkatkan resiko kehamilan perempuan. Tekanan psikis dan trauma yang dialami oleh perempuan hamil tersebut akan membayangi kehidupannya.
Penegakan Hukum Kasus KDRT
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.

Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda

Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.

Penerapan Pidana Tambahan

Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.

Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan[4].

Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.

Pasal 29 UU ini mengatur:

”Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

a.      korban atau keluarga korban;
b.      teman korban;
c.       kepolisian;
d.      relawan pendamping;atau
e.       pembimbing rohani.”

Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan pemantauan LSM hingga tahun 2008 ini, baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah beberapa kali mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban, dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang dari 7 (tujuh) hari.


Kesimpulan dan Saran
Beberapa catatan atas penegakan hukum dan penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT selama hampir 4 (empat) tahun terakhir, cukup memberikan gambaran bahwa upaya penghapusan KDRT merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan penegakan hukum yang konsisten.

Sosialisasi mengenai Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintahnya serta informasi teknis penerapannya di kalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan kebutuhan mendesak yang perlu direncanakan dengan baik.

Penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi.

Selain itu dibutuhkan pula kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap dan kolusi di seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang terkait.