Demokrasi, Pemilu dan Penegakan Hukum

Label: , , , ,

Demokrasi Modern menurut definisi aslinya adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya banyak keputusan pemerintah atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak yakni dari mayoritas di pemerintahan atau di belakang kebijakan yang menimbulkan keputusan itu lahir dari suara terbanyak, yakni dari mayoritas di pemerintahan (consent of a majority of adult governed).

Namun batasan konseptual yang mudah difahami tentang “demokrasi” adalah, suatu proses dari system penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan suatu negara yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Sedang batasan operasional dari “demokrasi” adalah, bagaimana indikator demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Dan itu dapat diketahui dengan mengukur dan mempertanyakan indikator demokrasi tersebut, seperti : 1. Tingkat sehat tidaknya penyelenggaraan Pemilu ; 2. Tentang sehat tidaknya bangsa ini atau tokoh-tokoh politik dalam bermusyawarah (negosiasi); 3. Tentang sehat tidaknya partisipasi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan publik suatu Pemerintahan ; 4. Tentang sehat tidaknya hak-hak wakil rakyat dipergunakan dalam mengkontrol jalannya pemerintahan, seperti : hak angket, hak budget, hak interplasi, hak amandemen dan hak-hak lainnya.

Untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, harus diukur dari batasan atau definisi operasi tentang demokrasi, bukan dari definisi konsep dari demokrasi itu. Sudah menjadi fakta sejarah demokrasi di Indonesia yang ada selama ini serasa jauh dari ruh atau tondi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari : 1. Partisipasi rakyat dapat dibeli dengan uang ; 2. Pemilu dari masa kemasa penuh dengan kecurangan ; 3. Pamer kekuatan massa menjadi kebanggaan dari banyak partai-partai politik untuk melakukan tekanan-tekanan ; 4. Saat bangsa ini atau tokoh-tokokh politik berbeda pendapat di dalam bermusyawarah atau bernegosiasi maka perbedaan tersebut menjadi bibit permusuhan ; 5. hak-hak DPR sebagai mekanisme kontrol terhadap Pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya ; 6. Cita-cita jadi anggota Legislatif tidak diragukan apakah didasarkan pada Nasionalisme yang bertujuan akan memperjuangkan cita-cita bangsa ini sebagaimana terdapat di dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 ; Cita-cita bangsa dan Nasionalisme inilah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan para sang Caleg jika ia nantinya menjadi anggota Legislatif di Parlemen. Sedangkan seperti kita ketahui kebanyakan dari anak bangsa ini ingin jadi anggota legislatif hanya sekedar mencari prestige atau gengsi sosial, sehingga kebanyakan dari mereka setelah kekuatan dan modal dikerahkan sang Caleg sekedar untuk menjadi anggota legislatif dan jika gagal tentu tidak sedikit pula yang menderita stress bahkan sakit jiwa. Tidak berlebihan kalau iman dan taqwa para calon pemimpin bangsa ini perlu diragukan atau mungkin cara berpikir bangsa ini memang sudah pada sakit, sehingga tidak faham bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara, mungkin juga tidak faham bahwa ikut dalam partai politik sesungguhnya membawa misi ideologi yang harus diperjuangkan untuk membuat bangsa ini bermartabat. Bahkan mungkin juga kita tidak lagi memiliki ikatan batin sebagai sebuah bangsa yang besar atau juga kita sudah kehilangan jejak bagaimana menghormati sejarah luhur perjuangan bangsa ini dari terhina akibat penjajahan menjadi bangsa yang merdeka yang semua itu dibayar dengan darah, nyawa dan air mata.

Kita sekarang memang tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, namun tidak dapat dipungkiri kita saat ini dijajah oleh bangsa sendiri yang terkotak-kotak dalam ikatan primordialisme yang dampaknya jauh lebih kejam dari penjajahan bangsa asing itu sendiri. Untuk menyelamatkan semua ini kita harus bangkit dan mengenal sejarah dan cita-cita bangsa ini serta menjalankan demokrasi Pancasila yang mengedepankan Iman dan Taqwa, Kemnusiaan dan Nasionalisme dalam budaya prilaku kita saat berdemokrasi untuk mendapatkan kekuasaan yang sah demi mewujudkan cita-cita bangsa ini ke depan.

Namun dalam proses itu semua harus dilakukan melalui Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia dalam penegakan hukum (Law Enforcement) yang diiringi adanya kesadaran seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum terutama dalam pesta demokrasi. Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya.

Dilema Birokrasi dalam Jerat Korupsi

Label: , , , ,

Tidak dapat dipungkiri sebenarnya publik banyak yang merasa tidak puas dan frustrasi atas kinerja birokrasi dan geliat upaya reformasi birokrasi selama ini baik di internal birokrasi sendiri yang sering terjadi keributan dan kehebohan, karena sedang berubah atau dipaksa berubah oleh tuntutan keadaan, dimana keadaan yang mengharuskan birokrasi punya totalitas kinerja dan etos semangat kerja yang baik dalam melayani publik.

Birokrasi sebagai pengemban amanat pelayanan publik sedang dihadapkan dalam suatu ”dilema”. Disatu sisi publik menuntut pelayanan publik harus baik, efektif, efisien, transparan dan akuntabel, namun di sisi lain, semakin banyak konsep, aturan dan petunjuk teknis perbaikan kenerja birokrasi yang harus diterapkan dalam situasi sumber daya manusianya atau SDM yang lemah, lamban dalam system yang dijalankan selama ini mengarah pada perbuatan korup.

Keluarnya Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah dan Perpres No.80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta aturan perubahannya yang rigid/kaku sehingga hampir mustahil aturan tersebut dapat dipenuhi atau diterapkan di lapangan, bahkan tidak mustahil sebenarnya mereka seringkali terjebak dalam lingkaran setan aturan-aturan yang rumit, kaku, berjibun, dan tumpang-tindih yang justru menciptakan jurang-jurang jebakan bagi birokrasi itu sendiri.

Birokrat sebenarnya dihadapkan pada kemungkinan keterkaitan kesalahan/penyimpangan pengelolaan administrasi negara dengan konsekuensi munculnya resiko tuduhan Tindak Pidana Korupsi yang unsur-unsurnya begitu rawan ada diancam dalam UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001.

Sebagai contoh tiadanya aturan yang jelas terhadap pengelolaan dana Non Budgeter menjadi pelajaran berharga dimana seperti kita ketahui pengelolaan dana non budgeter ini satu demi satu pengelolanya tersangkut dalam jeratan tindak pidana korupsi dan telah divonis bersalah oleh hakim dan hampir semuanya masuk dalam penjara.

Belum lagi banyaknya fenomena ngendon-nya duit pemerintah daerah dalam bentuk ”Sertifikat Bank Indonesia” (SBI), karena tidak sedikit pemerintah daerah sekarang ini banyak yang sangat hati-hati bahkan takut menjalankan program pembangunan, takut menjadi pimpinan proyek, dimana salah-salah bisa dikeler masuk bui/penjara.

Fenomena sindrome semacam ini akan sangat kontra-produktif dengan upaya pemerintah dalam membangun bangsa dan negara ini kearah yang lebih baik dan maju dimana upaya pembangunan itu sebagian besar dijalankan melalui pintu birokrasi.

Fakta tersebut semuanya sudah menjadi fenomena umum birokrasi saat ini. Suasana birokrasi seperti itu tentu tidak akan membuahkan hasil dalam perbaikan atau upaya memberikan pelayanan publik Padahal tuntutan kinerja yang tinggi untuk melayani publik sangat membutuhkan kreativitas dan inovasi yang tinggi dari segenap SDM Birokrasi atau Pegawai Negeri.

Jika sasaran akhir yang ingin dicapai dalam perbaikan system birokrasi adalah segalanya demi kepentingan publik, maka aturan yang diterapkan dalam birokrasi harus dapat menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dalam melayani publik tanpa mengabaikan substansi aturan yang ada.

Maka untuk menghindari posisi dilematis birokrasi tersebut di atas, perlu penulis sarankan sebagai berikut :

Pertama : Berdayakan Biro Hukum yang ada disetiap Pemerintah Daerah, guna memberikan nasihat-nasihat hukum bagi pengelola birokrasi dan pengambil keputusan agar tidak tersangkut masalah ”korupsi” kalau perlu jalin kerjasama dengan Lembaga Advokat atau para Advokat yang dianggap baik ;

Kedua : Harus ada perbaikan struktural, bangun budaya disiplin dan mekanisme pengawasan yang baik serta lakukan reformasi birokrasi secara terus-menerus dengan mensinkronisasikan aturan-aturan yang berkembang yang berlaku untuk itu ;

Ketiga : Motovasi para Pegawai Negeri sebagai SDM birokrasi agar mereka mau meningkatkan kualitas kinerjanya, moralitasnya dan dedikasinya dengan jalan menganjurkan yang bersangkutan agar terus belajar dan belajar agar kelak menjadi birokrat yang handal yang dikemudian hari kelak diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan terbaiknya bagi publik.

Karena kualitas birokrasi kita adalah barometer suksesnya pembangunan nasional.

Korban Akibat Tindak Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga

Label: , , , ,

Tindak kekerasan dapat terjadi di ruang publik (alam terbuka) maupun di lingkup rumah tangga yang merupakan lingkungan terkecil terdiri dari : Ayah, ibu, anak dan orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga yang bersangkutan. Maraknya kekerasan erat kaitannya dengan sifat agresif makhluk hidup termasuk manusia untuk mempertahankan diri.[1] Baik media elektronik maupun media cetak sering kali memberi informasi kekerasan yang telah dilakukan oleh suami kepada isteri dengan cara dipukul anggota tubuhnya dan mengancam agar isteri melakukan yang dikehendaki suami.
Tujuan perkawinan menurut hukum positif ialah membentuk keluarga yang bahagia dan dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga adalah masalah privat dan inpersonal karena hubungan antara individu dengan individu yang lain sebagai anggota keluarga. Pada masa sekarang permasalahan yang terjadi di lingkungan rumah tangga bukan hal yang tabu untuk diketahui oleh orang lain (umum).

Arti kekerasan dalam rumah tangga secara umum : Penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang yang berada dalam lingkup keluarga untuk melukai anggota keluarga yang lain. Adapun bentuknya dapat berupa penganiayaan fisik, psikis, ekonomi maupun seksual.[2] Objek kekerasan rumah tangga adalah setiap anggota keluarga : Ayah, ibu, anak, saudara dan lain-lain yang menetap di rumah yang bersangkutan. Realitasnya kekerasan rumah tangga pada umumnya dilakukan oleh suami terhadap isteri. Antara laki-laki dan perempuan ada sitilah jender berasal dari bahasa Inggris. Gender artinya pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender adalah hasil konstruksi budaya manusia misalnya pandangan bahwa laki-laki berkuasa, kuat, tegar, berani dan rasionil sedangkan perempuan lemah, lembut, rapuh, penakut dan emosional[3]. Perbedaan gender dalam rumah tangga tidak boleh disalahgunakan dan harus diperhatikan oleh suami maupun isteri sehingga akan melahirkan keadilan antara keduanya. Kalau perbedaan gender disalahgunakan dan tidak diperhatikan oleh suami maupun isteri akan menimbulkan kekerasan baik oleh isteri terhadap suami atau sebaliknya suami terhadap isteri.

Tindak kekerasan oleh suami terhadap isteri tidak terjadi apabila kedudukan suami seimbang dalam rumah tangga. Kalau kedudukan suami lebih tinggi dari pada isteri maka dapat menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Korbat akibat tindak kekerasan dalam rumah tangga sangat luas cakupannya oleh karena itu penulis hanya membahas tindak kekerasan fisik oleh suami terhadap isteri dalam rumah tangga, faktor penyebab dan hak korban akibat tindak kekerasan dalam rumah tangga.



II.  Pembahasan
Tindak kekerasan fisik oleh suami terhadap isteri, sering terjadi di dalam rumah tangga yang seharusnya tidak terjadi merupakan masalah yang komplek. Yang menjadi korban dalam rumah tangga kebanyakan isteri. Dengan adanya kekerasan oleh suami terhadap isteri dalam rumah tangga menimbulkan masalah sosial tetapi kurang mendapat perhatian karena :

KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup / pribadi dan terjaga privasinya karena persoalan ini terjadi dalam keluarga.
KDRT dianggap wajar karena diyakini bahwa mempermalukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga.
KDRT tidak dalam lembaga legal. [4]
Yang dimaksud kekerasan menurut Siti Musdah Mulia : Tindakan / serangan terhadap seseorang yang memungkinkan dapat melukai fisik, psikis, dan mentalnya serta menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan. [5] Kekerasan rumah tangga dijelaskan di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 : Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan / penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan /atau pemeleratan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, perampasan kehendak secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.



Latar belakang kekerasan dalam rumah tangga :

1. Adanya kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan isteri.
Kekuasaan suami dalam perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural dimana terdapat norma-norma dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh menguntungkan suami, gagasan bahwa suami lebih berkuasa dari pada isteri terbangun melalui pengabdian dan sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat khususnya keluarga isteri adalah pelayan suami, obyek seks suami, apapun yang diinginkan harus dilaksanakan.

2. Ketergantungan dan kemandirian ekonomi isteri.
Seorang isteri yang ekonominya bergantung pada suami karena status isteri yang tidak bekerja salah satu faktor yang mendorong suami bertindak semaunya, bahkan melakukan kekerasan terhadap isteri. Dalam tataran fraksinya terkadang kemandirian ekonomi seseorang isteri justru dapat menyebabkan kekerasan terhadap isteri karena adanya sikap cemburu dan rasa curiga dari suami terhadap isteri, akan adanya perselingkuhan ketika ia bekerja atau merasa tersaingi yang dapat berakibat hilangnya anggapan bahwa suami adalah tulang punggung keluarga.

3. Masih adanya kebudayaan patriarkhi yang mengakomodasikan perempuan atas isteri tergantung laki-laki.
Dengan adanya budaya patriarkhi berarti kedudukan laki-laki superior (lebih tinggi) dan kedudukan perempuan inferior (lebih rendah) sehingga menjadi pembenar suami menguasai isteri.

4. Frustasi, keluarga yang suaminya frustasi tidak dapat melakukan kewajiban, belum siap menikah, tidak ada penghasilan tetap dan kebutuhan hidup masih bergantung kepada orang tua. [6]

Menurut penulis unsur-unsur kultural dimana terdapat norma-norma dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh menguntungkan suami bertentangan dengan hukum perkawinan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Menurut hukum positif kedudukan suami dan isteri seimbang baik di dalam kehidupan rumah tangga maupun di dalam kehidupan masyarakat.

Apabila di dalam rumah tangga yang bekerja suami dan isteri tidak bekerja maka isteri ada ketergantungan ekonomi pada suami sehingga kedudukan isteri lemah. Ketergantungan dan kemandirian ekonomi isteri dapat menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan suami terhadap isteri apabila suami tidak memahami tentang kedudukan, hak dan kewajibannya. Apabila suami memahami tentang kedudukan, hak dan kewajibannya tidak akan menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan oleh suami terhadap isteri dalam rumah tangga. Budaya-budaya yang bertentangan dengan hukum positif tidak dapat berlaku apabila bertentangan dengan hukum positif.

Menurut Mansoer Fakih selama ini terjadi ketidak adilan gender, antara lain :

Terjadinya marjinalisasi atau pemisahan ekonomi terhadap kaum perempuan. Walaupun tidak semua marjinalisasi perempuan disebabkan oleh ketidak adilan gender, tetapi yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marjinalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender.
Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin yang umumnya pada kaum perempuan. Kebijakan rumah tangga tidak menganggap penting perempuan.
Pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan. Akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.
Kekerasan (Violance) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan yang disebabkan perbedaan gender.
Karena peran gender, maka perempuan mengelola rumah tangga lebih banyak dan lebih lama.[7]
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga dapat bermacam-macam bentuknya :

1. Kekerasan fisik (Pyshysteal abous)
Setiap perbuatan yang mengakibatkan sakit, misalnya memukul, melempar, menggigit, menendang, mebenturkan kepala ke tembok dan lain-lain.

2. Kekerasan Psikis dan emosi (psicological mobionale abous)
Kekerasan psikis ialah salah satu bentuk kekerasan domestik yang dapat mengakibatkan menurunnya harga diri seseorang misalnya menampakkan rasa takut melalui intimidasi, mengancam akan menyakiti, menculik, menyekap, menghina, berbicara keras dengan ancaman.

3. Kekerasan ekonomi (ekonomik abous)
Setiap perbuatan misalnya berupa tindak memberikan nafkah selama perkawinan/membatasi nafkah sekehendak suami, membiarkan isteri siang malam bekerja, membuat isteri tergantung beban ekonominya.

4. Kekerasan seksual (sexual abous)
Yakni setiap yang ditujukan kepada tubuh / seksualitas seseorang bertujuan merendahkan martabat dan integritas misal memaksa melakukan hubungan seksual, mendesak hubungan seksual setelah melakukan penganiayaan, menganiaya saat berhubungan sex, memaksa menjadi pelacur, menggunakan binatang untuk melakukan hubungan sex, memaksa hubungan sex dengan orang lain dan lain-lain.

5. Gabungan kekerasan fisik dan psikologi, ekonomi dan sexual [8]



Kekerasan fisik, (pyshysteal abous) dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkatan :

Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan a. Cidera berat, b. tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, c. pingsan, d. luka berat pada tubuh korban dan mati, e. kehilangan salah satu panca indera dan lain-lain.
Kekerasan Fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan a. Cidera ringan, dan b. rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.
Melakukan repetisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukan ke dalam jenis kekerasan berat.
Kalsifikasi yang disebutkan di atas merupakan penggabungan dua jenis tindak pidana dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu tindak pidana pembunuhan dan pidana penganiayaan berat. [9]

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT bukan merupakan delik biasa dan bukan delik aduan artinya walaupun telah terjadi tindak kekerasan rumah tangga kalau pihak korban tidak mengadukan ke aparat penegak hukum, maka aparat penegak hukum baik polisi, jaksa dan hakim tidak dapat memroses tindak kekerasan rumah tangga tersebut. Menurut penulis delik aduan dalam tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga sulit dilakukan oleh pihak korban. Biasanya pihak korban enggan untuk mengadukannya kepada aparat penegak hukum. Kalau terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga oleh suami terhadap isteri berdasarkan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 : Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selanjutnya di dalam pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dijelaskan : Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak Kepolisian baik di tempat korban maupun di tempat kejadian perkara. Menurut penulis perlu disediakan polisi wanita untuk mengimplementasikan pasal dan ayat tersebut.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur  hak korban :

Perlindangan dari pihak keluarga, kepolisisan, kajaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lainya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantusn hukum pada setiap proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan bimbingan rohani.
Apabila si korban mengalami tindak kekerasan rumah tangga yang mengakibatkan cidera berat maupun ringan, luka, memar dan lain-lain berhak mendapat pelayanan medis dari tenaga kesehatan yaitu tenaga yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan dan memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan di bidang kesehatan. Apabila si korban mengalami kesulitan untuk mengemukakan apa yang telah terjadi karena merupakan masalah impersonal dan merupakan masalah aib apabila diketahui oleh orang lain maka harus ada pelayanan khusus terhadap korban.

Pekerja sosial yang mendampingi korban ialah seorang yang mempunyai kompetensi dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalam praktik dibidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang dialami secara resmi oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial

Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT yang disahkan oleh lembaga yang berwenang dan diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 pada tanggal 22 September 2004 merupakan langkah awal dalam pembaharuan hukum. Menurut penulis langkah pembaharuan hukum tersebut harus diikuti dengan pembenahan aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dan advokat yang berwenang menangani tindak kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan dilakukan oleh suami terhadap isteri. Selain itu harus dilanjutkan dengan langkah yaitu dibangun budaya hukum masyarakat. Dengan adanya pembaharuan hukum diharapkan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga mendapat perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Kalau hal ini tidak dapat tercapai paling tidak dengan adanya undang-undang tersebut dapat meminimalisir korban tindak kekerasan rumah tangga yang kebanyakan dilakukan oleh sumi terhadap istri.