Di Indonesia, yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam aturan tentang polygami telah diakomodir dan diautr secara ketat di dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Inspres No.1 tahun 1991 Jo. Kep.Menteri Agama No.154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inspres No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam, seperti terdapat dalam Buku I, Bab IX pasal 55, 56, 57,58 dan 59 Kompilasi Hukum Islam. Di sini dijelaskan syarat utama bisa berpolygami antara lain : 1) Bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya ; ( secara a-contrario tidak bisa berlaku adil tentu tidak boleh berpolygami [ vide pasal 55 ayat (3) ]. 2) berpolygami harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama, artinya tanpa ijin dari Pengadilan Agama perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tanpa ijin akan kehilangan hak hukumnya khususnya mengenai hak warisnya ; Pengadilan Agama biasanya akam mengabulkan permohonan polygami dengan syarat : a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ; b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ; dan c) isteri tidak dapat memberikan / melahirkan keturunan ; d) adanya persetujuan isteri yang sah ; dan e) adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya ;
Ketentuan polygami dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini berlaku secara umum. Adapun untuk kalangan Pegawai Negeri, untuk Polygami lebih sulit lagi, aturan-aturan yang bergitu ketat baik yang terdapat dalam PP No.10 tahun 1983 Jo. PP No.9 tahun 1975 Jo.PP No.45 tahun 1990, dapat diartikan polygami cenderung dilarang bagi kalangan Pegawai Negeri. Bukan hanya sebatas itu, pegawai negeri khusus bagi wanitanya dilarang menjadi isteri kedua dan seterusnya dari seorang pria yang telah beristeri ;
Menyimak maraknya masalah polygami diangkat ke publik akhir-akhir ini yang berawal adanya beberapa Pejabat Publik dan beberapa Tokoh Masyarakat yang melakukan polygami, peristiwa ini pada gilirannya melahirkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya kalangan kaum perempuan. Menanggapi fenomena yang berkembang ini sebaiknya pihak pemerintah tidak perlu meresponnya dengan berlebihan, apalagi berkehendak atau berwacana merevisi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyangkut polygami. Polygami sebenarnya merupakan keadaan darurat yang merupakan hak laki-laki yang diberikan Tuhan kepada kita, sehingga kita semua sebagai ummat Islam haruslah dapat menghormatinya dengan legowo. Cuma, kita perlu untuk mengaturnya secara ketat agar tidak secara serampangan dilakukan setiap laki-laki untuk berpolygami. Inspres No.1 Tahun 1991 khususnya yang terdapat dalam Buku I tentang Perkawinan, sudah cukup baik mengatur polygami agar tidak dilakukan pihak laki-laki secara serampangan, sehingga pihak perempuan tidak perlu risau. Jika seorang wanita tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya ditambah lagi menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan sehingga ia tidak dapat menjalankan sebagai isteri terhadap suaminya, sementara pintu polygami ditutup tentu akan menimbulkan kerawanan dan dikhawatirkan akan muncul masalah hukum yang baru.
Dalam kenyataannya toh tidak sedikit ada isteri yang secara sportif dan legowo malah mendorong suaminya agar kawin lagi (polygami), guna sang suami dapat memperoleh keturunan, karena pihak isteri tahu bahwa salah satu tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Peristiwa ini dapat dikatakan adalah salah satu contoh keadaan darurat yang dialami pihak suami, sehingga ia memerlukan polygami. Oleh karenanya hal yang menyangkut polygami ini perlu ada undang-undang yang mengaturnya sebagaimana yang ada selama ini.
Adanya wacana untuk menutupnya ( baca : berpolygami ) dengan lahirnya wacana untuk merevisi undang-undang perkawinan yang diberlakukan secara umum yang isinya cenderung melarang polygami bagi masyarakat luas, adalah merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan yang terdapat di dalam Al Qur’an sebagaimana disebut di atas, dan merupakan pelanggaran hak asasi “keadaan darurat” pihak laki-laki. Karena polygami sudah sangat cukup jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan kita, sebaiknya pro-kontra tentang polygami segera diakhiri agar tidak menjadi inspirasi untuk didramatisasi atau dipolitisasi oleh para politikus-politikus kita. Masih banyak hal-hal lain yang mendesak untuk dipikirkan bangsa ini, dan kita tidak berharap isue polygami sampai menyingkirkan atau mengalahkan isue tentang pemberantasan korupsi yang masih jauh dari harapan, isue lumpur Lapindo di Sidoarjo, isue Penanggulangan Bencana Alam yang datang silih berganti sampai detik ini, serta isue-isue lain yang menyangkut keterpurukan bangsa ini. Semoga.