Hari Pahlawan dan Penegakan Hukum

Label: , , , ,

Proklamasi’45 adalah statement kemerdekaan yang merupakan pernyataan sikap bangsa Indonesia yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia maupun kepada seluruh masyarakat dunia bahwa kita “telah merdeka” dari penjajahan bangsa asing sejak tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi’45 adalah pintu gerbang kemerdekaan Indonesia sekaligus terbentuknya Negara Republik Indonesia, dengan meletakkan PANCASILA sebagai dasar Negara Republik Indonesia.

Adapun dibentuknya Negara Indonesia dengan 2 (dua) tujuan, yaitu tujuan negara ke dalam dan tujuan negara ke luar. Untuk tujuan negara ke dalam yaitu ditujukan kepada sesama bangsa Indonesia, adalah untuk : 1). “melindungi segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia” ; 2). “memajukan kesejahteraan umum” ; 3). “mencerdaskan kehidupan bangsa” ; sedangkan tujuan negara Indonesia ke luar, yang ditujukan kepada masyarakat dunia, adalah untuk, “ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” ;

Namun untuk melaksanakan tujuan negara Indonesia ke dalam, seperti melindungi segenap bangsa indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya bisa dilakukan melalui Penegakan Hukum Yang Baik. Tanpa tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik dalam penegakan hukum (Law Enforcement) dan adanya kesadaran seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum, maka mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai.

Tidak mungkin semua program pembangunan yang dicanangkan oleh pihak pemerintah yang bertujuan mewujudkan tujuan negara seperti disebutkan di atas akan berhasil tanpa terjaminnya penegakan hukum yang baik serta adanya kepastian hukum di Indonesia. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya, yaitu menjadikan bangsa dan rakyat Indonesia ini menjadi miskin dan sengsara.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaannya. Ironis !! Proklamasi’45 jelas lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan, dan kemerdekaan adalah jembatan emas untuk merubah nasib bangsa Indonesia dari “miskin” menuju “kaya”. Dan setelah 64 tahun berlalu, ternyata kemerdekaan Indonesia belum menjadikan bangsa ini “kaya”. “Kaya” disini dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan manusia atau suatu bangsa untuk mengumpulkan nilai-nilai yang hidup dan diakui ditengah-tengah masyarakat dunia.

Adapun nilai-nilai tersebut meliputi : 1) masyarakatnya rata-rata memiliki Pendidikan yang baik ; 2) memiliki Keterampilan ; 3) memiliki kecukupan Harta ; 3) memiliki Kekuasaan dalam system demokrasi ; 4) punya Harga Diri sebagai suatu bangsa yang merdeka ; 5) ada Kepastian Hukum dan Keadilan ; 6) ada Kasih Sayang dan Toleransi ; 7) memiliki badan yang sehat Lahir Batin ; 8) merasa Aman hidup berdampingan dan berusaha ; 9) ada Kebebasan yang bertanggungjawab ; Dll.

Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin keterampilan, miskin kekuasaan untuk mampu mempengaruhi keadaan menjadi lebih baik, miskin harta-benda, miskin kasih sayang, miskin kesehatan, miskin keamanan, miskin kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta kepastian hukum.

Mengapa ini sampai terjadi ? karena bangsa ini cq. Pemerintah beserta Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat belum memiliki kualitas nasionalisme yang baik, dan tidak faham betul terhadap cita-cita proklamasi’45, sehingga akibatnya mereka gagal dalam mendidik rakyatnya atau ummatnya.

Bangsa ini setelah proklamasi’45 yang tumbuh dan berkembang adalah ikatan primordialisme, yaitu isme kesukuan, isme kedaerahan, isme golongan dan isme keagamaan. Jangan heran kalau konflik timbul dimana-mana selalu berasal dari ikatan primordialisme dan belum terbangunnya nasionalisme.konflik ini akan semakin potensial terjadi karena pemerintah gagal dalam memimpin bangsa dan rakyat Indonesia, terutama dalam sektor ekonomi sehingga pemerintah tidak mampu mensejahterakan rakyatnya dalam bidang ekonomi. Kemiskinan ekonomi ditambah faham primordialisme yang kuat dan minimnya nasionalisme rakyat Indonesia akan membuat bangsa ini potensial menimbulkan disintegrasi yang cenderung merindukan memisahkan diri dari NKRI.

Proklamasi’45 sebagai jembatan emas menuju cita-cita Indonesia harus diselamatkan dengan meletakkan perioritas program pembangunan dengan jalan bagaimana membangkitkan nasionalisme rakyat Indonesia, mensejahteraakan rakyat yang secara simultan segera memperbaiki kualitas Penegakan Hukum di Indonesia yang tidak diskriminatif.. Jika ini dilakukan dan terujud, maka rakyat akan bangga sebagai warganegara Indonesia dan dampak berantai dari kecintaan rakyat Indonesia terhadap negaranya dalam suasana adanya kepastian hukum atau tegaknya hukum di Indonesia tentu akan dapat memberikan kontribusi efektif terhadap seluruh aspek perekonomian dan pembangunan Indonesia pada umumnya.

Tanggungjawab Penegakan Hukum

Label: , , , ,

Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses yang saling bergantung yang harus ditegakkan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan juga oleh masyarakat demi ditegakkannya kepastian hukum. Sebagai contoh, jika seseorang ditangkap, barang yang ada dalam kekuasaannya disita karena diduga ada hubungannya dengan kejahatan, namun proses hukumnya tidak berjalan bahkan tidak pernah tuntas, terjadinya pelanggaran KUHAP dan HAM dalam proses hukum adalah merupakan salah satu bukti tidak adanya tanggungjawab penegakan hukum di negeri ini.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah untuk membangun penegakan hukum (Law enforcement) yang akuntabel antara lain :1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ; 3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcement’ ) dimana lembaga ini berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar proses penegakan hukum yang telah ditentukan. ( vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 17 Jo psl. 3 ayat [(2) dan (3)] Jo. Psl.18 ayat [(1) dan (4)] UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ;

4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi kecuali Advokat agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar dari penegak hukum di Indonesia diharapkan lebih fokus dalam menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ; 5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”. Disini peran media cetak (Pers) dan media electronic”s (TV-Radio), serta kelompok-kelompok Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) sangat diperlukan, karena mereka banyak mengetahui dan concern dalam melakukan penyebaran informasi, serta melakukan “advokasi” kepada masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait agar terbangunnya prilaku dan kebudayaan hukum di negeri ini ;.dan 6) Perlu adanya good will yang melahirkan tekad (komitmen) bersama dari para penegakan hukum (‘law enforcement’) yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama dimulai dan diprakarsai oleh unsur penegak hukum yaitu “catur wangsa”, terdiri dari : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, yang dari adanya komitmen ini diharapkan dapat pula diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan lahir pula kebudayaan hukum di negeri ini;

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Bahwa pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tata-prilaku masyarakat tersebut mendukung tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yang tedapat dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yang ntinya adalah : 1.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; 2. Memajukan kesejahteraan umum ; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ;

Tinjauan Hukum Tentang Judi

Label: , , , ,

Bicara tentang “Judi” termasuk “Sabung Ayam” yang lebih dikenal dengan tajen selain dilarang oleh Agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981. Hal ini disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 1974, yang di dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana judian sebagai kejahatan. Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.

Dalam pasal 2 ayat (1) UU. No.7 1974 hanya mengubah ancaman hukuman pasal 303 ayat (1) KUHP dari 8 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya 90.000 rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 25 juta rupiah. Di dalam pasal 303 ayat (1)-1 Bis KUHP dan pasal 303 ayat (1)-2 Bis KUHP memperberat ancaman hukuman bagi mereka yang mempergunakan kesempatan, serta turut serta main judi, diperberat menjadi 4 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah dan ayat (2)-nya penjatuhan hukuman bagi mereka yang pernah dihukum penjara berjudi selama-lamanya 6 tahun atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.

Memang ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa segala bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari pemerintah.Perlu diketahui masyarakat bahwa Permainan Judi ( hazardspel ) mengandung unsur ; a) adanya pengharapan untuk menang, b) bersifat untung-untungan saja, c) ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d) pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.

Dan secara hukum orang dapat dihukum dalam perjudian, ialah : 1) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi mereka yang turut campur dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau juga sebagai pemain judi. Dan mengenai tempat tidak perlu ditempat umum, walaupun tersembunyi, tertutup tetap dapat dihukum ; 2) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum, disini tidak perlu atau tidak disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal ditempat umum yang dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihukum, kecuali ada izin dari pemerintah judi tersebut tidak dapat dihukum ; 3) Orang yang mata pencahariannya dari judi dapat dihukum ; 4) orang yang hanya ikut pada permainan judi yang bukan sebagai mata pencaharian juga tetap dapat dihukum. (vide, pasal 303 bis KUHP).

Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah, tepatnya dalam pasal 1 PPRI No.9 tahun 1981 yang isi pokoknya melarang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “kasino”. di “keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain, yang jika dikaitkan lagi dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 yang intinya menghapuskan semua peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini, khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.

Agaknya pengaturan tentang “judi” terdapat pengaturan yang saling bertentangan, disatu pihak UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP yang mengatur tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, disisi lain bertentangan dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi” (memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Memang secara azas theory hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.

Atas dasar ini Kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai seluruh agama yang dianut. Guna menghindari adanya tindakan anarkisme dari kalangan ormas keagamaan terhadap maraknya praktik perjuadian yang ada, maka sudah seharusnya Pemerintah bersama DPR tanggap dan segera membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang “larangan praktik perjudian” yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum atau di kota-kota dan di tempat-tempat pemukiman penduduk, agar negara kita sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana masyarakatnya yang religius tetap terjaga imagenya.