Pro Kontra Poligami

Label: , , , ,

Seperti diketahui Polygami adalah seorang laki-laki dibolehkan kawin “lebih dari satu” perempuan yang disukainya (maksimal 4 orang), dimana ketentuan ini dibenarkan dan diatur dalam ajaran Islam terdapat dalam Al Qur’an, surat An Nisa’ khususnya ayat ke-24 ; 

Di Indonesia, yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam aturan tentang polygami telah diakomodir dan diautr secara ketat di dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Inspres No.1 tahun 1991 Jo. Kep.Menteri Agama No.154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inspres No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam, seperti terdapat dalam Buku I, Bab IX pasal 55, 56, 57,58 dan 59 Kompilasi Hukum Islam. Di sini dijelaskan syarat utama bisa berpolygami antara lain : 1) Bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya ; ( secara a-contrario tidak bisa berlaku adil tentu tidak boleh berpolygami [ vide pasal 55 ayat (3) ]. 2) berpolygami harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama, artinya tanpa ijin dari Pengadilan Agama perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tanpa ijin akan kehilangan hak hukumnya khususnya mengenai hak warisnya ; Pengadilan Agama biasanya akam mengabulkan permohonan polygami dengan syarat : a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ; b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ; dan c) isteri tidak dapat memberikan / melahirkan keturunan ; d) adanya persetujuan isteri yang sah ; dan e) adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya ; 

Ketentuan polygami dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini berlaku secara umum. Adapun untuk kalangan Pegawai Negeri, untuk Polygami lebih sulit lagi, aturan-aturan yang bergitu ketat baik yang terdapat dalam PP No.10 tahun 1983 Jo. PP No.9 tahun 1975 Jo.PP No.45 tahun 1990, dapat diartikan polygami cenderung dilarang bagi kalangan Pegawai Negeri. Bukan hanya sebatas itu, pegawai negeri khusus bagi wanitanya dilarang menjadi isteri kedua dan seterusnya dari seorang pria yang telah beristeri ; 

Menyimak maraknya masalah polygami diangkat ke publik akhir-akhir ini yang berawal adanya beberapa Pejabat Publik dan beberapa Tokoh Masyarakat yang melakukan polygami, peristiwa ini pada gilirannya melahirkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya kalangan kaum perempuan. Menanggapi fenomena yang berkembang ini sebaiknya pihak pemerintah tidak perlu meresponnya dengan berlebihan, apalagi berkehendak atau berwacana merevisi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyangkut polygami. Polygami sebenarnya merupakan keadaan darurat yang merupakan hak laki-laki yang diberikan Tuhan kepada kita, sehingga kita semua sebagai ummat Islam haruslah dapat menghormatinya dengan legowo. Cuma, kita perlu untuk mengaturnya secara ketat agar tidak secara serampangan dilakukan setiap laki-laki untuk berpolygami. Inspres No.1 Tahun 1991 khususnya yang terdapat dalam Buku I tentang Perkawinan, sudah cukup baik mengatur polygami agar tidak dilakukan pihak laki-laki secara serampangan, sehingga pihak perempuan tidak perlu risau. Jika seorang wanita tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya ditambah lagi menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan sehingga ia tidak dapat menjalankan sebagai isteri terhadap suaminya, sementara pintu polygami ditutup tentu akan menimbulkan kerawanan dan dikhawatirkan akan muncul masalah hukum yang baru. 

Dalam kenyataannya toh tidak sedikit ada isteri yang secara sportif dan legowo malah mendorong suaminya agar kawin lagi (polygami), guna sang suami dapat memperoleh keturunan, karena pihak isteri tahu bahwa salah satu tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Peristiwa ini dapat dikatakan adalah salah satu contoh keadaan darurat yang dialami pihak suami, sehingga ia memerlukan polygami. Oleh karenanya hal yang menyangkut polygami ini perlu ada undang-undang yang mengaturnya sebagaimana yang ada selama ini. 

Adanya wacana untuk menutupnya ( baca : berpolygami ) dengan lahirnya wacana untuk merevisi undang-undang perkawinan yang diberlakukan secara umum yang isinya cenderung melarang polygami bagi masyarakat luas, adalah merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan yang terdapat di dalam Al Qur’an sebagaimana disebut di atas, dan merupakan pelanggaran hak asasi “keadaan darurat” pihak laki-laki. Karena polygami sudah sangat cukup jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan kita, sebaiknya pro-kontra tentang polygami segera diakhiri agar tidak menjadi inspirasi untuk didramatisasi atau dipolitisasi oleh para politikus-politikus kita. Masih banyak hal-hal lain yang mendesak untuk dipikirkan bangsa ini, dan kita tidak berharap isue polygami sampai menyingkirkan atau mengalahkan isue tentang pemberantasan korupsi yang masih jauh dari harapan, isue lumpur Lapindo di Sidoarjo, isue Penanggulangan Bencana Alam yang datang silih berganti sampai detik ini, serta isue-isue lain yang menyangkut keterpurukan bangsa ini. Semoga.

Persepsi Hukum dan Pembangunan

Label: , , , ,

Kalau secara gamblang Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu konsep yang di dalamnya terdapat perihal usul tentang perubahan perilaku manusia yang diinginkan, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat Pembangunan Hukum adalah bagaimana merubah perilaku manusia kearah kesadaran dan kepatuhan hukum terhadap nilai-nilai yang hidup dan diberlakukan dalam masyarakat. Tegasnya membangun perilaku manusia dan masyarakat harus di dalam konteks kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara dimana mereka mengerti dan bersedia menjalankan kewajiban hukumnya sebagai warganegara dan mengerti tentang bagaimana menuntut hak-hak yang dijamin secara hukum dalam proses hukum itu sendiri. 

Pembangunan harus juga ditujukan bagaimana merubah prilaku rakyat bangsa Indonesia, dari perilaku yang serba terbelakang menuju kearah perilaku yang lebih maju sosial ekonomi, budaya, akhlak serta perilaku yang sejahtera dengan memahami hak dan kewajibannya sebagai warganegara. Dalam konteks ini jelas pembangunan tidak dapat dipisahkan dari kesadaran dan kepatuhan manusia atau masyarakat terhadap nilai-nilai hukum. Pembangunan hukum harus dilakukan secara simultan dengan perencanaan pembangunan lainnya yang dilaksanakan dalam proses perencanaan pembangunan suatu bangsa secara global, karena sasaran akhir (goal end) perencanaan pembangunan adalah “prilaku manusia” yang mematuhi nilai-nilai pembangunan itu sendiri. 

Atas dasar pemikiran ini pembangunan hukum yang bermuara pada kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat haruslah mendapat perhatian yang utama dari seluruh aspek pembangunan yang direncanakan. Perlu kita ketahui bahwa hukum sebagai suatu disiplin ilmu sebenarnya mempunyai 2 (dua) obyek, yaitu obyek formil dan obyek materil. Obyek formil dari ilmu hukum adalah bagaimana meletakkan dasar dan pegangan agar terciptanya ketertiban, ketenteraman, kepatutan dan keadilan bagi individu dan masyarakat, sedang Obyek Materiil dari ilmu hukum adalah bagaimana menciptakan terbentuknya budaya perilaku manusia dan masyarakat yang sadar dan patuh serta memahami betul terhadap hak dan kewajibannya sebagai bagian dari komunitas suatu masyarakat, dari suatu bangsa dan/atau suatu negara. 

Kita sangat prihatin melihat budaya prilaku hukum bangsa kita yang semu dimana sebenarnya di dalamnya penuh dengan potensi kekerasan dan ketidakpedulian dengan tertib yang dituntut di dalam habitatnya. Potensi prilaku hukum ini dapat digambarkan seperti budaya perilaku berlalu-lintas di jalanan. Kepatuhan berlalu-lintas di jalanan lebih dapat terjadi jika ada polisi lalu-lintas yang siap selalu mengawasi para pemakai jalan atau pengendara di jalanan, jika Poltas tidak ada maka semua rambu-rambu lalu lintas cenderung untuk dilanggar terutama pelanggaran terhadap tanda lampu lalu lintas yang ada di persimpangan-persimpangan jalan. Tertib tidaknya suatu masyarakat terhadap hukum dapat diukur dari kesadaran masyarakat dalam berlalu-lintas di jalanan umum. 

Bahkan tidak sedikit pula banyak pemakai jalan (pengendara) yang cenderung melanggar rambu –rambu jalanan dan sama sekali tidak memperdulikannya sekalipun ada Polisi Lalu-Lintas yang menjaganya saat itu. Pembangunan Hukum agaknya tidak dapat berjalan mulus jika akar masalah yang merupakan indikator-indikator gagalnya suatu pembangunan itu tidak diselesaikan, misalnya antara lain yang menyangkut : 1) aspek kesejahteraan (prosperity) yang di dalamnya menyangkut beberapa indikator antara lain indikator tersedianya lapangan pekerjaan dengan gaji yang “cukup” ; 2) aspek sarana dan pra-sarana jalan yang mengakomodir kenyamanan dan keamanan para pengendara pemakai jalan ; 3) aspek profesionalnya para penegak hukum ; 4) aspek terjaminnya kebutuhan masyarakat yang menyangkut sandang, pangan dan papan ; 5) aspek berjalannya system yang kondusif dari infrastruktur dan suprastruktur yang menyangkut bidang pelayanan publik ; serta banyak lagi aspek-aspek lainnya yang tidak dapat disebutkan mengingat terbatasnya kolom. 

Tegasnya Pembangunan Hukum tidak dapat dilakukan secara parsial atau merupakan suatu konsep yang berdiri sendiri. Masyarakat cenderung tidak patuh pada semua rambu-rambu norma dan hukum jika aspek yang mendasar yang menyangkut kebutuhan hidupnya terancam dan/atau sulit dapat terpenuhi di tengah-tengah system global dimana mereka hidup. Jika ini terjadi, jangan berharap banyak masyarakat kita mau dengan sadar mematuhi semua norma dan kaidah hukum yang berlaku di negara kita. Hal ini secara berantai akan melahirkan dampak dari hasil Pembangunan yang semu. Apakah itu pembangunan demokrasi, pembangunan moral dan akhlak bangsa, pembangunan phisik berupa sarana dan pra-sarana berupa gedung-gedung perkantoran dan super market, atau pembangunan sarana pendidikan yang hanya melahirkan dan memproduksi para pencari kerja. Pembangunan hukum harus dilakukan secara simultan dan sinergi dengan aspek pembangunan lainnya. Tanpa seperti itu ia menjadi utopia, sehingga hukum hanya bisa dipatuhi oleh masyarakat di dalam system pemerintahan yang otoriter.

Akuntabilitas Law Enforcement

Label: , , , ,

Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut atau berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum tidak pula dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dikerjakan atau dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum. 

Jika seseorang ditangkap, barang yang ada dalam kekuasaannya disita karena diduga ada hubungannya dengan kejahatan, proses hukumnya tidak berjalan bahkan tidak pernah tuntas, pelanggaran KUHAP merajalela, adalah merupakan salah satu bukti tidak adanya akuntabilitas law enforcement di negeri ini. Langkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel untuk masa yang akan datang dapat kita kemukakan antara lain : 

1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ; 3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcemen’ ) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum ( vide : pasal 9 ayat (1 dan 2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 dan 3) Jo. Psl.18 ayat (1 dan 4) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ; 

4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia diharapkan lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ;. 5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;. 6) Membangun tekad (komitmen) bersama dalam para penegakan hukum (‘law enforcement’) yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ; 

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tata-prilaku masyarakat tersebut mendukung tercapainya cita-cita bangsa Indoensia yang merupakan tujuan negara Indonesia, baik itu tujuan negara ke dalam maupun tujuan negara keluar sebagaimana terdapat atau diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI pada alinea ke-IV, yang intinya adalah : 1.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; 2. Memajukan kesejahteraan umum ; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ;