Markus dan Mafia Peradilan

Label: , , , ,

Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi suap berupa imbalan tertentu, sehingga perbuatannya sangat merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu, atau mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum. Oleh karenanya markus ini menjadi lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan rejekinya. 

Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum, yang mendaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan Pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-jani, sbb : 1) Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan ; 2) Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan ; 3) Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka ; 4) Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang ; 5) Meringankan tuntutan (requisitoir) ; 6) Meringankan putusan ; 7) Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisi BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas ; 8) Mengupayakankan fasilitas khusus di RUTAN ; Dll. 

Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri. Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini. 

Adapun antara Makelar kasus (markus) dengan Mafia Peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain, dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi hampir disemua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato-pidato kosong belaka. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” 

Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab mereka kepada publik. Lebih baik tebal muka dan tidak punya rasa malu, dari pada menggubris sindiran publik yang bakal mengurangi rejeki mereka. 

Buruknya kinerja para Penegak Hukum dan buruknya system pengawasan yang ada dalam proses penegakan hukum, telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan termasuk makelar kasus (markus) di Indonesia. Kenyataan ini bila kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan “markus” dan “mafia peradilan” eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini.

Korupsi, Demokrasi dan Pembangunan

Label: , , , ,

Negara-negara dengan proses politik yang tidak stabil, sistem pemerintahan tidak dikembangkan dengan baik, dan bahwa orang miskin adalah terbuka untuk kaum oportunis yang berjanji sumber daya atau pembangunan infrastruktur cepat penyalahgunaan, tetapi tidak bersaing secara terbuka dalam, demokratis dan janji-janji berharap untuk masa depan yang lebih baik, tetapi cara mereka melakukan bisnis adalah korupsi merusak negara politik.

Untuk negara kita bahkan dalam undang-undang awal menghilangkan korupsi UU 3 Tahun 1971 Jo. UU No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dalam pertimbangan dari RUU ini telah menegaskan bahwa "karena korupsi yang terjadi selama ini kerusakan keuangan dari negara atau perekonomian negara, pertumbuhan bahkan menghabat dan keberlanjutan pembangunan nasional yang tinggi efisiensi tuntutan. " tetapi kenyataan bahwa korupsi di mana-mana dan telah mengganggu pembangunan nasional. Otonomi daerah di Indonesia dengan sistem yang dikelola pemerintah adalah korupsi yang ada di pusat ke daerah yang justru jumlahnya jauh lebih besar daripada di tingkat pusat.

Korupsi adalah (kejahatan ekstra biasa) kejahatan sosial yang harus diberantas melalui proses korupsi peradilan. Agar efektif anti-korupsi tidak cukup untuk membuat peraturan baik nasional maupun internasional, tetapi harus terlebih dahulu membangun masyarakat untuk memberantas korupsi itu sendiri, tanpa pembangunan sumber daya manusia yang tidak mungkin untuk pemberantasan korupsi dapat dikurangi apalagi memberantas korupsi .. Dalam teori korupsi dapat terjadi karena 2 (dua) faktor terjadi secara bersamaan, yaitu faktor "risiko" faktor dan "stimulasi", dimana faktor kesempatan selalu dikaitkan dengan sistem pengawasan yang lemah, selalu merangsang faktor yang terkait dengan sikap mental yang buruk dan sumber daya manusia moral.

Dengan kata lain terjadi dalam sistem kerja keras dan kualitas pengawasan yang baik dan staf memiliki mentalitas yang baik. Tetapi jika tindakan korupsi telah menjadi budaya di negeri ini, sementara nilai-nilai budaya yang cenderung abadi, maka pasti sulit untuk memberantas korupsi, meskipun undang-undang tentang pemberantasan korupsi ini begitu lengkap, tetapi korupsi masih terjadi. Mengingat hari ini kita begitu sibuk memerangi kejahatan dan penuntutan korupsi di era Soeharto tanpa memperhitungkan kepentingan aspek orang yang paling penting, sehingga bias secara politik dan ekonomi sangat mengganggu pembangunan nasional kita , di mana korupsi di Soehato waktu baik antar elit elit politik dan ekonomi diperlengkapi dengan baik untuk memajukan aset korupsi dengan aman ke luar negeri, sehingga memberantasnya membutuhkan energi besar dan waktu yang sangat lama.

Prioritas kami dalam memerangi korupsi, tanpa disadari telah membuat kita ceroboh dan lupa untuk menangani masalah serius pembangunan bangsa yang telah begitu kacau di tengah kemiskinan absolut yang dialami oleh mayoritas Indonesia. Dalam kepentingan rakyat mau tidak mau kita harus kembali ke belakang dan melihat kebijakan yang ada. Mulailah dengan berhenti perseteruan antara elit politik dan reformis di negeri ini tanpa tuduhan saling korupsi, karena tidak ada gading yang tak retak, seolah-olah mayoritas diperturutkan elit politik di negara ini bisa menjadi penjara.

Oleh karena itu digunakan untuk stabilitas politik, ekonomi dan stabilitas keamanan di negara untuk menciptakan. Bangun untuk pendidikan menengah dan pengembangan moral titik nasionalisme, anti-korupsi untuk era saat ini reformasi karena sangat perlu dikontrol dan dipantau pemerintah saat ini, untuk era pemeritahan Soeharto korup membutuhkan solusi politik, bahwa ia akan tertarik untuk membawa kembali aset yang ada di luar negeri dalam bentuk investasi, atau membangun sebuah perusahaan di Indonesia yang dapat memberikan pekerjaan bagi banyak orang. Bekerja pada pembangunan nasional diabaikan yang dimulai dengan pengoperasian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) untuk pembangunan nasional dengan penciptaan rencana lima tahun (REPELITA) merumuskan, sehingga pembangunan yang dapat dikontrol oleh rakyat pada umumnya dan sejauh mana era pemerintahan yang lebih kuat telah melakukan permbangunan diukur terhadap rakyatnya, karena terus terang bahwa lebih banyak orang perlu hari ini bukan makanan pakaian, cukup dan tempat tinggal, tetapi juga rasa upaya keamanan di kehidupan sehari-hari bukan janji-janji politik belaka di tengah-tengah gejolak dan ketidakpastian masa depan!.

Korupsi vs Nasionalisme

Label: , , , ,

Nasionalisme adalah satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia dimana bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial. Unsur pengikat inilah yang melahirkan kesadaran akan nasionalisme komunitas/rakyat Indonesia ketika berhadapan dengan lingkungan luar yang mengganggu. 

Dalam sejarah Indonesia khususnya, nasionalisme masih sangat penting akan keberadaannya, Pertama, misalnya, sebagai ideologi pemersatu untuk melawan penjajah Belanda, atau Jepang, atau dalam melawan hegemoni neo-kolonilalisme. Dulu, kalau orang-orang di kepulauan Nusantara ini tersebar terus, tidak ada ideologi yang mempersatukan dan tentu dengan mudah Belanda menguasai kita. Sangat mungkin orang-orang di kepulauan Nusantara justru saling berperang sendiri. Apalagi, ketika politik adu domba Belanda terus menerus memompakan permusuhan dan konflik-konflik. Kedua, sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang di kepulauan Nusantara tadi berhasil memerdekakan dirinya, nasionalisme paling tidak sebagai wacana ideologis untuk membangkitkan semangat mengisi kemerdekaan Indonesia. walaupun kadang nasionalisme semacam ini disalahtafsirkan, dengan alasan nasionalisme Indonesia kita menyimpan kecenderungan bermusuhan dengan bangsa lain. Tapi, sisi positifnya tentu banyak, sebagai bangsa baru yang menemukan dirinya, kita berusaha tetap kompak sehingga banyak konflik yang berpotensi mengancam persatuan Indonesia dapat diatasi atas nama nasionalisme Indonesia. Ketiga, nasionalisme paling tidak dapat dipakai untuk memberikan identitas keindonesiaan, agar Indonesia itu ada di dunia. Akan tetapi, apa yang dicatat dunia dengan nasionalisme Indonesia. Mungkin tidak banyak. Waktu itu, terlepas dari konstruksi orientalisme, orang lebih mengenal Indonesia sebagai bangsa yang cukup ramah, negara terbelakang dan miskin, negara yang memiliki bahasa persatuan Indonesia, yang mengatasi lebih dari 600-an bahasa-bahasa lokal yang hingga hari ini tetap bertahan. Negara kita Indonesia jauh hari telah mencanangkan berbagai pemahaman Nasionalisme dalam konsep Wawasan Nusantara yang dituangkan dalam satu kesatuan: Ideologi , Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Agama, Pertahanan Keamanan Nasional ). 

Sebagai konsekuensinya setiap warganegara Indonesia, apalagi ketika ia dicalonkan sebagai pemimpin di dalam struktur kekuasaan yang ada tentu harus memiliki Wawasan Nusantara dimana yang bersangkutan harus punya kewajiban mutlak untuk ikut mempertahankan satu kesatuan wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke yang dituangkan dalam konsep IPOLEKSOSBUDAGHANKAMNAS. Sekarang ini dari hasil pengamatan para ahli tidak dapat dipungkiri, rasa nasionalisme bangsa kita sangatlah menipis, bahkan terancam punah. Yang muncul adalah Ikatan Primordialisme, yang berkiblat pada ikatan kesukuan, kedaerahan, keagamaan dan/atau antar golongan. 

Sejarah membuktikan, selama 30 tahun terakhir Indonesia tercengkeram oleh satu model kekuasaan yang otoritarian, yang biasa disebut rezim Orde Baru. Sebagai akibatnya, banyak masalah ketidaksukaan dan ketidakpuasan bergolak di bawah permukaan. Yang paling menonjol saat itu adalah matinya demokrasi, menjamurkan KKN, tidak adanya hukum yang berkeadilan, dan sebagainya. Akibat kondisi terebut, potensi keretakan berubah menjadi bom waktu. Banyak orang mencoba memobilisasi agama, atau etnisitas, atau bahkan mengusung wacana dunia seperti demokrasi dan keadilan universal untuk melakukan konsolidasi resistensi. Dengan tergesa-gesa dan ceroboh, rezim menyelesaikan resistensi itu dengan kekerasan terbuka atau tersembunyi. Kita tahu, pada waktu itu aparat militer sungguh berkuasa dan menakutkan. Apakah militer melakukan itu dengan memegang semangat nasionalisme Indonesia. Namun, strategi yang paling jitu untuk menangkal resistensi itu pemerintah Orde Baru memanfaatkan nasionalisme untuk mengontrol dan menekan agar kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di lokal-lokal dapat dipatahkan. Nasionalisme Indonesia dikedepankan untuk menahan agar nasionalisme etnis, atau nasionalisme agama, atau nasionalisme geografis tidak berkembang menjadi kekuatan yang potensial yang menghancurkan pemerintahan bahkan negara. 

Dalam hal ini nasionalisme haruslah dibangun sedemikian rupa yang berkiblat pada bagaimana mempertahankan pluralisme ( Bhineka Tunggal Ika) Negara Indonesia di dalam wawasan nusantara, yang mengakomodir ketergantungan global. Namun nasionalisme semacam itupun sangat sulit dibangun jika sistem sosial, sistem hukum dan sistem pemerintahan telah terkontaminasi dengan budaya korup yang tidak dapat dicegah. Selama Orde Baru, sistem politik atau struktur kekuasaan telah memungkinkan merajalelanya korupsi besar-besaran di segala bidang. Korupsi yang “membudaya” ini telah membikin kerusakan-kerusakan parah bahkan sampai kepada budaya prilaku masyarakat lapisan bawah yang memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial, politik, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Sekalipun dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai dari UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 yang dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa “akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghabat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”. Korupsi tidak hanya sekedar merusak keuangan dan perekonomian negara, akan tetapi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdaulat. 

Menyambut sumpah pemuda 28 Oktober 2011 ini, kita butuh faham nasionalisme yang baru atau faham Nasionalisme yang ke-II, dimana Nasionalisme yang baru ini benar-benar berkiblat pada : 1). faham Bhineka Tunggal Ika, karena tidak mungkin ada persatuan jika masyarakatnya kita tidak mampu menjadi orang yang berbeda dengan orang lain atau tidak mampu mengatasi perbedaannya ; 2). Terbangunnya sikap bersama bagaimana Korupsi Harus diberantas tuntas karena bertentangan dengan pembangunan nasional disegala bidang ; dan 3). Terbangunnya sikap setiap warganegara Indonesia tentang keharusan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang memahami wawasan nusantara sebagai satu kesatuan yang integral dari : Ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan nasional. Semoga..!